Sabtu, 18 September 2010

Pembakaran Alquran Ternyata Jadi Dilakukan

Pembakaran Alquran Ternyata Jadi Dilakukan


Liputan6.com, Springfiled: Pembakaran Alquran yang sebelumnya akan dilakukan oleh pendeta dari Florida Terry Jones, pada peringatan tragedi 11 September, urung dilaksanakan karena mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Namun ternyata oleh pendeta Bob Old dan Danny Allen. Mereka membakar Alquran di halaman belakang sebuah rumah di Springfileld, Amerika Serikat, Sabtu (11/9) silam.
Bob Old dan rekannya Danny Allen berdiri bersama di halaman belakang rumah tua. Mereka menyebut tindakan itu sebagai panggilan dari Tuhan. Mereka membakar dua salinan Quran dan satu teks Islam lainnya di depan segelintir orang, yang sebagian besar dari media.
Seperti dilansir Detroit News, ternyata pembakaran Alquran juga terjadi di Michigan. Sebuah Alquran dibakar di depan pusat ajaran Islam di kota tersebut.
Ryanne Nason, seorang cendekiawan Amerika Serikat, seperti dilansir sebuah koran lokal Mainecampus, Kamis (15/9), menyebut bahwa pembakaran yang dilakukan oleh sejumlah orang sangat menyedihkan dan memalukan. Di AS, negara yang dibentuk pada keyakinan kebebasan beragama, setiap orang diberikan hak untuk mempraktikkan agama yang mereka yakini, seperti Yudaisme, Islam, Kristen, atau tidak menganut agama sama sekali. Dengan membakar Alquran atau kitab suci agama lain, bayangan seluruh bangsa lain membuat AS adalah negara tanpa kelas dan tidak etis.
Sungguh ironis bahwa Terry Jones atau Bob Old merasa memiliki perlindungan berdasarkan amandemen pertama untuk membakar kitab suci agama lain yang ia tidak percaya. Padahal semua muslim di AS dilindungi oleh undang-undang konstitusional yang sama. Hal ini akan memeberikan cela pada reputasi Amerika.
Menurut Ryanne, orang beragama menggunakan moral yang kuat dan nilai-nilai, namun sekarang orang mendiskreditkan keyakinan mereka karena bersifat menghakimi dan intoleransi. Salah satu dari banyak alasan mengapa kita memiliki pasukan di Irak dan Afghanistan adalah untuk melawan penindasan dan penganiayaan agama terhadap penduduk negara di negara tersebut. Namun, saat ini ternyata warga negara Amerika sendiri yang melecehkan agama lain.
Di Chicago, Mohammed Kaiseruddin, Dewan Direksi Pusat Ajaran Islam memberikan gambaran terhadap pembakaran Alquran yang sangat berbeda dengan nilai-nilai yang dianutnya. Ia mengatakan kepada Huffington Post hari ini, "Kami merasa seperti kita sudah menjadi korban. Ketika kami memegang Alquran, kami memperlakukannya dengan sangat hormat. Kami tidak pernah menaruh salinan Alquran di lantai. Sejak kecil, kami selalu mengingatkan anak-anak untuk menghormati kitab suci ini. Kami juga mengajarkan kepada mereka ketika selesai membaca Alquran, mereka menutup dan menciumnya, lalu menyimpannya". (Huffington Post/Mainecampus/Detroitnews/DES/IAN)

Rabu, 15 September 2010

'Sang Pencerah': Kisah Sang Panutan Bangsa

Jakarta - Sejarah membuat orang bijak, begitu pepatah lama berkata. Tetapi, menurut filsuf Jean-Paul Sartre, manusia dikutuk untuk terus memilih selama dia hidup. Dan 'Sang Pencerah' yang disutradarai dan skenarionya ditulis oleh Hanung Bramantyo ini juga mengalaminya.

Tidak. Saya tidak bilang kalau film ini jelek. Bahkan, selain 'Catatan Akhir Sekolah' dan 'Get Married', film ini termasuk karya Hanung yang terbaik. Mungkin karena temanya, Yogya dan Muhammadiyah, dekat dengan sang sutradara.

Lihat saja, film berdurasi 112 menit ini berhasil meyakinkan penontonnya untuk menikmati Yogyakarta di akhir abad ke-19. Tentu, selain sang sutradara, Departemen kostum/wardrobe (Retno) sangat berjasa dalam hal ini. Lihat saja bagaimana Kebun Raya Bogor disulap menjadi Malioboro beserta Tugunya. Atau, yang paling spektakular, adalah bagaimana mereka membangun replika Kabah satu banding satu untuk adegan thawaf kala haji, dengan begitu meyakinkan, ditambah footage orang berhaji tempo dulu.

Atau, dalam soal make-up (Jerry Octavianus), bagaimana sang istri, Siti Walidah, baik yang diperankan Marsya Natika atau Zaskia Adya Mecca berkulit sawo matang. Tya Subiakto yang menggawangi music score juga turut menyumbangkan atmosfir yang signifikan.

Satu lagi yang bersinar adalah penata sinematografi Faozan 'Pao' Rizal yang mempersembahkan karya terbaiknya. Para pemain pada umumnya, khususnya Lukman Sardi dan Ikhsan Idol yang menjadi KH Ahmad Dahlan, tampil cemerlang. Juga aktor lainnya seperti Slamet Rahardjo Djarot dan Giring Nidji.

Kisah berfokus pada sejarah hidup pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, sejak lahir hingga mendirikan Muhammadiyah pada 12 November 1912. Ia, beserta 5 muridnya (Sudjak, Fachrudin, Hisyam, Syarkawi, Abdul Ghani)  berada pada masa di mana
praktik-praktik ritual melenceng dari kemurnian ajaran Islam. Atau bagaimana, kala itu, sebuah sekolah Islam dianggap haram memakai bangku dan meja dengan alasan itu semua buatan kafir.

Dan sejarah menunjukkan fungsinya, bagaimana ia menjadi cermin betapa kurangnya Indonesia kiwari akan sosok panutan yang patut diteladani. Juga bahwa sejak dulu hingga sekarang, praktik kekerasan atas nama agama berlangsung. Masa itu, saling
menuding 'kafir' adalah hal biasa, sedangkan pembaruan dianggap sesuatu yang mengancam. Misalnya saja bagaimana Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh yang menjadi mujaddid kala itu dituduh sesat hanya karena menerbitkan Al-Manar (dan,
sebenarnya, al-Urwatul Utsqa) dari Paris.

Yang  menarik lainnya, Kiai kita ini bisa menguasai medan dakwah (lihat adegan di sekolah Belanda) atau menggunakan cara dakwah yang dianggap nyeleneh, bahkan mungkin hingga kini (misalnya, mengajarkan agama dengan biola, atau memakai perumpamaan agama dengan musik), dan tidak hanya mengajarkan toleransi, tetapi juga koeksistensi alias bekerja sama dengan yang tidak sealiran.

Tentu saja, membuat film sejarah tentang biopic tokoh sekaliber KH Ahmad Dahlan tentu saja tidak mudah, dan Hanung cukup berhasil mengatasinya. Khususnya, berbagai masalah sensitif yang menyangkut Sri Sultan Hamengku Buwono hingga Muslim tradisionalis.

Persoalan mendasar adalah bagaimana menjelaskan karakter mulia KH Ahmad Dahlan yang santun dan toleran disukai baik oleh Muslim atau non-Muslim dan masuk dalam berbagai organisasi macam Jamiat Khaer, Syarikat Islam (SI), hingga Boedi Oetomo dengan visinya untuk pembaruan agama yang mau tidak mau, melawan mayoritas Muslim yang kala itu berbaur dengan mistik kejawen (istilah populernya kala itu: TBC, Takhayul, Bid'ah, Churafat) dan bahkan madzhab Masjid Agung Kauman, simbol aliran agama resmi kesultanan Yogyakarta.

Walhasil, sedikit sekali pembahasan mendalam tentang bagaimana KH Ahmad Dahlan menjelaskan tentang beda 11 dan 23 rakaat salat Tarawih, atau soal Yasinan dan tahlilan, atau mengucapkan gelar Sayyidina (tuanku) setelah nama Nabi Muhammad . Tentu akan menarik bagaimana akhlak mulia Sang Kiai bisa mengatasi perbedaan dan tentu rakyat belum berhenti melihat jamaah terus konfrontasi antara kaum modernis dan tradisionalis berkenaan hal-hal yang sifatnya cabang (furu'iyah).

Pernah saya mendengar berita akan ada adegan tentang Dahlan muda, Muhammad Darwis, melakukan perjalanan laut ke Mekkah untuk berhaji. Di sana, dia bertemu dan bersahabat dengan (nantinya) pendiri Nahdhatul Ulama (NU) KH Hasyim As'ari. Dan
kelak keduanya, bersama Agus Salim, berguru pada orang yang sama, Imam madzhab Syafiiyah di Masjidil Haram asal Indonesia bernama Ahmad Khatib. Sayang adegan ini tidak ada.

Hal lain yang mengganjal adalah ide bahwa nasionalisme KH Ahmad Dahlan makin menyala kala ia bersentuhan dan lalu menjadi anggota Boedi Oetomo. Saya bisa memahami betapa Boedi Oetomo sangat penting dalam mencerahkan pemikiran kebangsaan sang kiai, bahkan sampai bertemu dan berdiskusi dengan Dr Wahidin Sudirohusodo. Dan dari situ timbul konflik yang mengasyikkan, bagaimana ia ditakutkan akan menjadi Islam Kejawen akibat hubungannya dengan organisasi yang didominasi oleh Jawa Ningrat itu. Atau, bagaimana KH Ahmad Dahlan 'berbahasa dengan bahasa kaumnya' dengan memakai beskap, sesuatu yang menjadi simbol orang kafir.

Tetapi, alangkah menariknya bila juga diceritakan persinggungannya dengan SI, organisasi bervisi kebangsaan yang lahir lebih dulu dari Boedi Oetomo dan berasal dari berbagai etnis dan suku seluruh Nusantara.

Tapi saya bisa memaklumi. Hanung terpaksa harus memilih bagian mana yang dimasukkan dan mana yang dibuang.  Adegan dialog tentang barang kafir, atau 'hidupi Muhammadiyah, jangan hidup dari Muhammadiyah', tentu ada.  Tetapi ada hal-hal
sensitif yang kurang diangkat. Dan masalah lainnya adalah tentang bahan-bahan seputar pribadinya, khususnya saat masih bernama Muhammad Darwis, yang cukup langka. Mungkin, kiprah KH Dahlan di SI juga kekurangan bahan. Tentu ini menjadi catatan tersendiri urusan kearsipan di negeri ini.

Sayangnya, ada penyederhanaan soal mengapa Islam di Jawa mempraktikkan mistisme dan sinkretisme. Di awal film, ada pernyataan semua itu karena Syekh Siti Jenar, tetapi bagi yang mengkaji sejarah agama di Nusantara tahu bahwa kondisinya tidak sesimpel itu. Karena, Wali Songo juga mengajarkan tasawuf, dan bahkan ada teori bahwa Islam di abad pertengahan masuk dari Gujarat (India) yang memakai pendekatan 'sufisme' yang kemudian banyak yang terselewengkan atau disalahtafsirkan dan berbaur dengan ajaran lokal. Intinya, bukan tokohnya, tapi salah tangkapnya itulah yang menjadi sumber masalah.

Bagaimana pun, 'Sang Pencerah' adalah sebuah film sejarah yang dibuat dengan layak dengan nilai produksi di atas rata-rata. Sekali lagi, film ini juga menjadikan sejarah sebagai pelajaran di masa kini. Mengutip  sejarahwan Kuntowijoyo:  sejarah itu seperti spiral, dia akan terus berulang tetapi selalu maju ke depan. Misalnya: toleransi, koeksistensi, kekerasan berbalut agama, dan semangat perubahan yang kurang. Inilah sebuah film yang wajib tonton saat liburan Lebaran. (iy/iy)
Ekky Imanjaya - detikMovie

Sabtu, 11 September 2010

K.H. AHMAD DAHLAN



K.H. AHMAD DAHLAN


A. Latar Belakang Kehidupan

K.H. Ahmad Dahlan dilahirkan tanggal 1 Agustus 1868 di Kauman Yogyakarta dan wafat tanggal 23 Februari 1923. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwis. Ayahnya bernama KH. Abu Bakar (seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya Siti Aminah (puteri dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghulu kesultanan juga).
Ia merupakan anak ke-empat dari tujuh bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa.
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul’llah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Permulaan pendidikan Muhammad Darwis adalah memperoleh pengajaran dan pendidikan membaca (mengaji) al-Qura’an dari ayahnya, K.H. Abu Bakar di rumah sendiri, dan pada usia 8 tahun di sudah lancar dan tamat membaca al-Qur’an. Seiring dengan perkembangn usia yang semakin bertambah, M. Darwis yang sudah tambah remaja mulai belajar agama Islam tingkat lanjut. Tidak sekedar membaca al-Qur’an, dia jug belajar fiqih dari K.H. M. Soleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain itu M. Darwis juga belajar ilmu agama Islam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan K.H. M. Nuh. Ia juga belajar ilmu hadis kepada K.H. Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qira’ati dan falak kepada K.H. Dahlan Semarang.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.

B. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan

Pemikiran atau ide-ide K.H. Ahmad Dahlan tertuang dalam gerakan Muhammadiyah yang ia dirikan pada tanggal 18 Nopember 1912. Organisasi ini mempunyai karekter sebagai gerakan sosial keagamaan. Titik tekan perjuangannya mula-mula adalah pemurnian ajaran Islam dan bidang pendidikan. Muhammadiyah mempunyai pengaruh yang berakar dalam upaya pemberantasan bid’ah, khurafat dan tahayul. Ide pembaruannya menyetuh aqidah dan syariat, misalnya tentang uapcara kematian talqin, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, menziarahi kuburan yang dikeramatkan, memberikan makanan sesajen kepada pohon-pohon besar, jembatan, rumah angker dan sebagainya, yang secara terminologi agama tidak dikenal dalam Islam. Bahkan hal tersebut sangat bertentangan dengan Islam, sebab dapat mendorong timbulnya kepercayaan syirik dan merusak aqidah Islam.
Inti gerakan pemurnian ajaran Islam seperti pendahulunya, Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab cukup bergema. K.H. Ahmad Dahlan dan pengikutnya teguh pendirian dalam upaya menegakkan ajaran Islam yang murni sesuai al-Qur’an dan Hadis, mengagungkan ijtihad intelektual bila sumber-sumber hukum yang lebih tinggi tidak bisa digunakan, termasuk juga menghilangkan taklid dalam praktik fiqih dan menegakkan amal ma’ruf nahi munkar.

C. Analisis Pemikiran

Corak pemikiran K.H. Ahmad Dahlan lebih banyak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan kehidupannya yang mendapat didikan keagamaan yang sangat intens. Disamping juga beliau merupakan keturunan dari kalangan keluarga terpandang, yakni anak seorang tokoh agama di lingkungan keraton. Ia juga mendapat pengaruh dari tokoh-tokoh yang teguh memegang prinsip agama, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridah, dan Ibnu Taimiyah. Perjuangnnya dapat dilihat dari didirikannya organisasi Muhammadiyah yang ia dirikan. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan, sosial dan pendidikan. Pada Tahun 1918 Kh. Ahmad Dahlan mendirikan Hizbul Wathan sebagai sarana pendidikan diluar sekolah dan rumah.
Kesimpulan
K.H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh nasional yang berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari pengaruh penjajahan. Gelar sebagai pahlawan nasional pun diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada K.H. Ahmad Dahlan.

KH Ahmad Dahlan (1868-1923)

KH Ahmad Dahlan (1868-1923)

Pendiri Muhammadiyah


Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwisy), adalah pelopor dan bapak pembaharuan Islam. Kyai Haji kelahiran Yogyakarta, 1 Agustus 1868, inilah yang mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 18 November 1912. Pahlawan Nasional Indonesia ini wafat pada usia 54 tahun di Yogyakarta, 23 Februari 1923.

KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di nusantara. Ia ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Ia mendirikan Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan.

Pada saat Ahmad Dahlan melontarkan gagasan pendirian Muhammadiyah, ia mendapat tantangan bahkan fitnahan, tuduhan dan hasutan baik dari keluarga dekat maupun dari masyarakat sekitarnya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. 1)

Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional didasarkan pada empat pokok penting yakni: Pertama, KH Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.

Kedua, dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam. Ketiga, dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam. Keempat, dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan.

Diasuh di Lingkungan Pesantren
Muhammad Darwisy lahir dari keluarga ulama dan pelopor penyebaran dan pengembangan Islam di tanah air. Ayahnya, KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta, dan ibunya, Nyai Abu Bakar adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.

Ia anak keempat dari tujuh orang bersaudara, lima saudaranya perempuan dan dua lelaki yakni ia sendiri dan adik bungsunya. Dalam silsilah, ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). 2)Idem

Silsilahnya lengkapnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH Abu Bakar bin KH Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlul'llah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Sejak kecil Muhammad Darwisy diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwisy.

Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Setelah lima tahun belajar di Makkah, pada tahun 1888, saat berusia 20 tahun, Darwisy kembali ke kampungnya. Ia pun berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Lalu, ia pun diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta.

Pada tahun 1902, ia menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, sekaligus dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah hingga tahun 1904.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil. Siti Walidah, kemudian lebih dikenal dengan nama Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Pasangan ini mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).

Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

Mendirikan Muhammadiyah
Semangat, jiwa dan pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, yang diperolehnya dari Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, ibn Taimiyah dan lain-lain selama belajar Makkah (1883-1888 dan 1902-1904), kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot).

Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.

Dahlan sendiri sadar bahwa semaangat pembaharuannya tidak akan serta-merta dapat dipahami dan diterima keluarga dan masyarakat sekitarnya. Tidak mudah melakukan pemharuan pada suatu sifat ortodoks yang sudah membeku. Maka, entah terkait atau tidak, ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab untuk dirinya sendiri.

Bunyinya demikian: "Wahai Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).

Dalam artikel riwayat Ahmad Dahlan di situs resmi Parsyarikatan Muhammadiyah (muhammadiyah.or.id), pesan ini disebut menyiratkan sebuah semangat yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah.

Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif.

Dijelaskan dalam artikel itu, kesadaran seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi. Perkumpulan, parsyarikatan dan gerakan dakwah: Muhammadiyah.

Dahlan pun memilih strategi yang amat baik dengan lebih dahulu membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, sekaligus meneruskan cita-citanya memajukan bangsa ini. Apalagi ia berkesempatan mengakselerasi dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah itu dengan mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta. Karena, ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.

Tentu saja para calon pamongpraja tersebut dapat diharapkan mengaselerasi dan memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Begitu pula para calon guru akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, kepada murid-muridnya. Guna mengintensifkannya, Dahlan pun mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah). Di sekolah ini, Dahlan mengajarkan agama Islam dan menyebarkan cita-cita pembaharuannya.

Dahlan dikenal sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat. Dengan gagasan-gagasan cemerlang dan kegiatan kemasyarakatannya, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat. Termasuk dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw.

Pada tahun 1912, tepatnya tanggal 18 Nopember 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam. Ia punya visi untu melakukan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits.

Berbagai tantangan ia hadapi sehubungan dengan gagasan pendirian Muhammadiyah itu. Bahkan ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Kiai palsu. Sampai ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar.

Dahlan teguh pada pendiriannya. Pada tanggal 20 Desember 1912, ia mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Tampaknya, Pemerintah Hindia Belanda ada kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Sehingga izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta
Namun, walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah.

Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kan,u wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).

Gagasan pembaharuan Islam, Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

Dalam bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.

Muhammadiyah juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut kaum ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits. Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir".

Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Sebagai salah seorang keturunan bangsawan yang menduduki jabatan sebagai Khatib Masjid Besar Yogyakarta, ia mempunyai penghasilan cukup tinggi. Ia juga berkecimpung sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik.  ►
crs

*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Sumber:
1) Riwayat KH Ahmad Dahlan

Rabu, 08 September 2010

Sang Pencerah | Akmal Nasery Basral

Oleh: Priyantono Oemar
Area permainan gobak sodor menjadi salah satu area terlihatnya kepemimpinan Ahmad Dahlan di masa kecil. Di area gobak sodor, ia mengatur strategi agar teman-temannya bisa lolos dari kepungan lawan.
Lingkungan keluarga kemudian banyak memupuknya. Anggota keluarga besarnya -dengan caranya masing-masing– mendukung dirinya sepenuhnya.
Kegusaran sosialnya muncul ketika melihat ibu sahabatnya harus berutang hanya untuk mengadakan tahlil 40 hari sepeninggal ayah sahabatnya itu. Sampai dewasa, dahlan terus mendakwahkan bahwa tahlil bukan suatu keharusan. Apalagi jika dengan tahlil beramai-ramai itu, malah mengganggu tetangga yang sedang butuh istirahat. Dalam kasus berbeda, masih sering pula terjadi saat ini, mengadakan pawai kendaraan saat pengajian sehingga jalanan macet karena dipakai parkir kendaraan.
Ahmad Dahlan (bernama kecil Muhammad Darwis) tumbuh di lingkungan religius di dalam keraton: Kauman. Ia beruntung memiliki lingkungan yang tepat dan mendukung. Ayahnya selalu bisa menenangkan kegundahannya. Pamannya –yang kemudian juga mertuanya– sering menasihatinya soal keteguhan hati dan pengendalian diri. Istrinya -yang tak perlu istikharah untuk memilih Dahlan sebagai suami, karena sudah yakin akan kepribadian Dahlan– bisa membesarkan hatinya
”Ini kondisi yang menjadi rumit. Kalau yakin pendapatmu yang benar, kau harus perjuangkan meski kau harus dicopot dari jabatanmu sekarang, Dahlan,” ujar Kiai Fadlil, paman sekaligus mertua Dahlan, saat Dahlan harus menghadapi pembongkaran mushala oleh orang-orang yang tak setuju dengan dirinya. (Sang Pencerah, hlm 243-244).
Tak banyak referensi soal pembakaran ini, sehingga banyak orang Muhammadiyah juga tak tahu ada peristiwa ini. Akmal memakai rujukan buku KH Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya karya Junus Salam (1962).
Dahlan saat itu sudah diangkat sebagai khatib Masjid Gede, menggantikan ayahnya yang telah meninggal. Menjadi khatib adalah kesempatan baginya untuk bisa memandang langsung wajah Sultan dari posisi yang jauh lebih tinggi dari Sultan -hal yang sering ia bayangkan di masa kanak.
Dalam kesempatan pertama khutbah di masjid itu, Dahlan langsung menyinggung soal kemudahan yang diberikan agama. ”Merahmati itu artinya melindungi, mengayomi, membuat damai, tidak mengekang atau membuat takut umat, atau membuat rumit dan berat kehidupan Muslim dengan upacara-upacara dan sesajen yang tidak pada tempatnya,” ujar Dahlan.
Tapi, untuk perayaan grebeg yang diadakan Keraton –yang dianggap sebagai bagian dari dakwah Islam– Dahlan tak mengkritiknya. Untuk menyampaikan pandangannya, ia memilih tak bertatap muka dengan Sultan, karenanya ia bertemu di ruang gelap (Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam, JL Peacock, 1992). Rupanya, sebagai orang Keraton, ia masih harus rendah hati dan patuh menjunjung budaya Jawa.
Suatu ketika, ia pernah menyatakan ”para anggota Muhammadiyah harus menaruh segenap perhatian pada beberapa tradisi Jawa yang tampak menyimpang dari aturan-aturan Islam.” Dahlan jelas tidak terganggu. Ia merasa ”bahwa secara perlahan-lahan tradisi-tradisi itu akan melemah seiring gerak evolusi dan perubahan sebagai akibat kemajuan dalam pendidikan.” (Muhammadiyah Jawa, 2010)
Diposkan oleh IBOEKOE pada 06 Sep 2010 

Isu Bakar Al-Quran di Florida

JAKARTA — Ulama NU, Dr KH Nuril Arifin, MBA, yang biasa disapa Gus Nuril, mengimbau agar umat Muslim di Indonesia tidak terprovokasi dengan kampanye pembakaran kitab suci Al Quran yang dilontarkan kelompok non-denominasi Dove World Outreach Center. Organisasi ini berbasis di Florida, Amerika Serikat.
“Saya mohon ke seluruh bangsa Indonesia agar tidak menyikapi gerakan ini dengan kemarahan. Dia tidak tahu, kalau kita balas dengan gerakan vandalis, rusak semua,” kata Gus Nuril dalam jumpa pers bersama tokoh lintas agama, di Kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Rabu (4/8/2010) di Jakarta.
Gus Nuril menekankan agar upaya tak beradab ini jangan sampai merusak persaudaraan antarumat beragama dan semangat pluralisme yang tumbuh di Indonesia. “Warga Muslim agar menahan diri dan tidak melakukan gerakan emosional, apalagi gerakan balasan sampai pada pembakaran,” ujarnya.
Aksi yang direncanakan oleh sekelompok kecil orang Amerika, kata dia, jangan dibalas dengan melampiaskannya pada orang-orang yang tak bersalah di Tanah Air. “Ibaratnya, yang maling orang Amerika, jangan pukuli orang Indonesia. Jangan cari orang yang tidak bersalah di sini,” ujarnya.
Peristiwa ini dinilainya merupakan ujian bagi umat Muslim. Menyikapinya, umat Muslim diimbau untuk menawarkan sikap perdamaian dan persaudaraan. “Saya yakin bangsa ini tidak terpengaruh dengan gerakan edan-edanan, tidak manusiawi, dan biadab ini,” tegasnya.
Pemerintah juga diharapkan segera merespons rencana oleh kelompok non-denominasi di Amerika Serikat itu, sebelum meluas dan mendapatkan reaksi dari masyarakat Muslim Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia, Udayana, juga mengutuk keras rencana aksi yang ditujukan untuk memperingati sembilan tahun peristiwa WTC itu.
“Kami mengutuk gerakan yang membakar kitab suci. Sama seperti kami, kami punya Wedha. Kami juga akan berontak jika ada aksi seperti ini. Oleh karena itu, kita harus memberi solidaritas atas gerakan usaha pembakaran kitab suci saudara umat Muslim,” kata Udayana.
Sumber: KOMPAS.COM, 4 Agustus 2010, “Umat Islam Diimbau Tak Terprovokasi”

HTI Pamekasan Demo Kecam Pembakaran Al Quran

HTI Pamekasan Demo Kecam Pembakaran Al Quran

Diposkan oleh Diana AV pada 04 Sep 2010 | Beri Tanggapan

PAMEKASAN-Puluhan aktivis Hisbut Tahrir Indonesia (HTI)  Pamekasan menggelar unjuk rasa mengecam rencana pembakaran kitab suci Al Quran di AS, Sabtu (4/9).
Sebuah sekte kecil agama Kristen di Florida Amerika Serikat berencana membakar Al Quran untuk peringatan Tragedi WTC 11 September.
Para aktivis HTI Pamekasan berkeliling kota membawa poster dan berorasi mengecam rencana tersebut. Sebagian ada yang mengendarai mobil, ada pula  yang berjalan kaki. Setelah mereka berkeliling kota, lalu berhenti di sebelah timur bundaran Monumen Arek Lancor yang berhadapan langsung atau berjarak sekitar 10 meter dari Gereja Katolik Maria Ratu Para Rasul.
Sejumlah petugas keamanan dari Polres Pamekasan berjaga-jaga di sekitar lokasi aksi. Sementara para aktivis HTI setelah berkumpul di Bundaran Arek Lancor itu, lalu mereka bergantian pidato  menyampaikan kecamannya terhadap rencana sinting pembakaran Al Quran ersebut.
“Rencana pembakaran itu merupakan bentuk penghianaan terhadap Al quran namun juga merupakan penghinaan terhadap  umat Islam di seluruh dunia. Karena itu kita tidak boleh membiarkan rencana ini. Harus ada upaya yang sungguh sungguh  utamanya dari pemerintah Amerika dan umat Kristen di seluruh dunia termasuk di Indonesia dan Pamekasan untuk menggagalkan rencana tersebut,” ujar Muslih Karim, seorang aktivis HTI. mas